Kata Maaf
Hari-hari berlalu dengan ketegangan yang semakin memburuk antara aku dan Mira. Meskipun aku berusaha memperbaiki hubungan kami, Mira tampak semakin menjauh. Syila, di sisi lain, selalu ada untuk mendukungku. Namun, aku mulai merasakan ada sesuatu yang berbeda dalam sikapnya.
Suatu hari, saat aku dan Syila sedang duduk di kafe, dia memulai percakapan yang mengejutkanku.
"Dito, aku merasa kamu terlalu mengkhawatirkan Mira," kata Syila dengan nada yang tidak biasa. "Dia sepertinya tidak menghargai usaha kerasmu."
Aku tertegun mendengar kata-kata itu. "Apa maksudmu, Syila?"
Syila menatapku dengan mata penuh keseriusan. "Mira sudah menunjukkan bahwa dia tidak bisa menerima siapa kamu sebenarnya. Dia terlalu egois untuk melihat sisi baikmu dan usaha yang telah kamu lakukan. Mungkin sudah saatnya kamu mempertimbangkan untuk melangkah maju dan fokus pada orang-orang yang benar-benar mendukungmu."
Aku terdiam, mencoba mencerna kata-kata Syila. "Aku tidak ingin kehilangan Mira sebagai sahabat, Syila. Dia sudah berarti banyak bagiku."
Syila menghela napas. "Aku mengerti, Dito. Tapi kadang-kadang, kita harus melepaskan orang-orang yang tidak bisa menerima kita apa adanya. Itu lebih baik daripada terus-terusan merasa bersalah dan berusaha keras untuk seseorang yang tidak menghargai kita."
Percakapan itu membuatku semakin bingung. Aku tahu Syila bermaksud baik, tetapi aku tidak bisa begitu saja mengabaikan perasaan Mira.
Beberapa hari kemudian, Mira mengirimkan pesan singkat yang meminta bertemu. Kami bertemu di taman kota, tempat yang biasa kami kunjungi.
"Dito, aku sudah memikirkan semuanya," kata Mira dengan wajah serius. "Aku merasa hubungan kita sudah berubah dan aku tidak tahu apakah kita bisa kembali seperti dulu."
Aku merasakan sakit di hati mendengar kata-kata itu. "Mira, aku benar-benar minta maaf. Aku tidak pernah bermaksud menyakiti perasaanmu."
Mira menggelengkan kepalanya. "Ini bukan hanya tentang itu, Dito. Aku merasa kita sudah terlalu berbeda. Mungkin kita butuh waktu untuk merenung dan melihat apa yang terbaik untuk kita."
Aku tahu bahwa perpisahan ini tidak akan mudah, tetapi aku tidak ingin memaksakan sesuatu yang mungkin sudah rusak.
Ketika aku menceritakan hal ini kepada Syila, dia tampak tidak terkejut. "Aku sudah menduga ini akan terjadi," katanya dengan nada tenang. "Mira memang sulit menerima kenyataan."
Hari-hari berlalu dengan perasaan campur aduk. Aku merasa kehilangan sahabat yang sudah lama menjadi bagian penting dalam hidupku. Di sisi lain, Syila semakin sering menunjukkan sikap yang membuatku ragu. Dia tampak selalu berusaha menekankan betapa Mira tidak pantas mendapatkan perhatianku.
Suatu malam, saat kami sedang duduk di kafe, Syila membuka pembicaraan yang membuat suasana semakin panas.
"Dito, aku benar-benar tidak mengerti kenapa kamu masih memikirkan Mira," katanya dengan nada tegas. "Dia jelas-jelas tidak menghargai kamu."
Aku menatap Syila dengan tajam. "Syila, Mira adalah sahabatku. Aku tidak bisa begitu saja melupakan dia."
Syila menghela napas panjang. "Dito, kamu harus melihat kenyataan. Mira sudah membuatmu merasa bersalah dan tidak nyaman. Kamu pantas mendapatkan yang lebih baik."
Perkataan Syila membuatku semakin bingung dan marah. Aku merasa dia tidak memahami perasaan dan situasiku sepenuhnya.
Hubungan kami semakin tegang, dan aku merasa terjebak dalam situasi yang sulit. Aku tahu bahwa aku harus membuat keputusan yang bijaksana, tetapi aku tidak tahu harus mulai dari mana.
Dengan perasaan campur aduk dan kebingungan yang semakin meningkat, aku menyadari bahwa aku harus mencari cara untuk menenangkan pikiran dan hati. Aku berharap bisa menemukan jalan yang tepat untuk memperbaiki hubungan dengan Mira, atau setidaknya menemukan kedamaian dalam diriku sendiri.
Hari demi hari berlalu dengan ketidakpastian yang terus mengiringi langkahku. Aku berharap bahwa waktu dan ketenangan akan membantuku menemukan solusi yang terbaik untuk semua orang yang terlibat.
Comments
Post a Comment