Kerja Kelompok



Beberapa minggu setelah perbincangan di kafe, kami dihadapkan pada tugas besar dari sekolah: proyek kelompok. Mira dan aku dipilih menjadi satu kelompok bersama beberapa teman lainnya: Rina, Arif, dan Bayu. Proyek ini cukup menantang, dan kami harus menyusun sebuah presentasi tentang topik yang kompleks.

Pada awalnya, kerja kelompok berjalan lancar. Kami semua sepakat membagi tugas dengan adil dan mulai bekerja keras untuk mengumpulkan informasi. Aku dan Mira berkolaborasi dengan baik, seperti biasanya, dan aku merasa optimis tentang hasil akhirnya.

Namun, seiring berjalannya waktu, tekanan dari tugas ini mulai terasa. Waktu kami terbatas, dan ada beberapa perbedaan pendapat yang muncul. Kami mulai merasa frustrasi, terutama karena beberapa anggota kelompok tidak bekerja sekeras yang kami harapkan. Rina terlihat lebih sibuk dengan urusan pribadinya, sedangkan Arif dan Bayu kadang-kadang terlambat mengumpulkan bagian tugas mereka.

Suatu sore, kami memutuskan untuk berkumpul di rumahku untuk menyelesaikan sebagian besar tugas. Semuanya tampak berjalan baik hingga Mira dan aku berbeda pendapat tentang bagaimana menyusun presentasi akhir.

"Aku pikir lebih baik kita mulai dengan latar belakang masalah dulu, baru masuk ke data dan analisis," kata Mira dengan tegas.

Aku menggelengkan kepala. "Menurutku, kita harus mulai dengan data dulu untuk menarik perhatian, baru kemudian menjelaskan latar belakangnya. Itu akan lebih menarik bagi penonton."

Mira mengerutkan kening. "Tapi kalau kita mulai dengan data tanpa konteks, itu bisa membingungkan."

Rina yang duduk di sudut akhirnya angkat bicara. "Dito, mungkin kita bisa mencoba mendengarkan dulu pendapat Mira. Latar belakang memang penting."

Arif menimpali, "Tapi, Rina, Dito juga punya poin. Kita butuh pembuka yang kuat."

Bayu, yang biasanya diam, kali ini ikut memberi masukan. "Gimana kalau kita buat dua slide awal yang berisi ringkasan data penting sebagai teaser, lalu masuk ke latar belakang dan penjelasan mendetail? Jadi penonton tidak kebingungan tapi tetap tertarik."

Perdebatan kami semakin memanas, dan anggota kelompok lain mulai merasa canggung. Mereka mencoba menengahi, tapi Mira dan aku terlalu terfokus pada perbedaan pendapat kami.

"Kenapa kamu selalu merasa bahwa idemu yang paling benar, Dito?" Mira akhirnya berkata dengan nada frustrasi.

Aku terkejut mendengar itu. "Aku tidak merasa begitu, Mira. Aku hanya mencoba memberikan ide yang menurutku lebih baik."

Mira mendesah kesal. "Kita seharusnya bekerja sebagai tim, bukan saling berdebat seperti ini."

Suasana menjadi semakin tegang, dan akhirnya aku berkata, "Baiklah, kalau kamu merasa ideku tidak masuk akal, aku akan keluar dari diskusi ini. Kalian putuskan saja sendiri."

Aku berdiri dan keluar dari ruang tamu, meninggalkan Mira dan teman-teman lainnya. Aku merasa marah dan frustrasi, tidak hanya karena perdebatan, tapi juga karena perasaan yang lebih dalam yang aku pendam terhadap Mira. Rasanya seolah-olah semua emosi itu meledak sekaligus.

Setelah beberapa waktu, Rina mengetuk pintu kamarku. "Dito, bisakah kita bicara?"

Aku membuka pintu dan membiarkannya masuk. "Apa lagi, Rina?"

Dia menatapku dengan mata penuh penyesalan. "Aku minta maaf kalau suasana jadi tegang tadi. Kami semua tahu kamu dan Mira hanya ingin yang terbaik. Bisakah kita coba berdamai dan mencari solusi bersama?"

Aku menarik napas panjang dan mengangguk. "Maaf juga, Rina. Aku terlalu emosional. Kita hanya ingin yang terbaik untuk proyek ini."

Rina tersenyum dan memanggil yang lain. Kami duduk dan mencoba berbicara dengan lebih tenang. Bayu menyusun ulang presentasi dengan slide teaser, dan kami semua setuju bahwa itu adalah kompromi yang bagus. Setelah beberapa saat, kami akhirnya menemukan solusi yang bisa diterima oleh semua anggota kelompok. Presentasi kami akhirnya selesai dengan baik, dan kami berhasil mendapat nilai yang memuaskan.

Meskipun perdebatan itu sempat membuat hubungan kami tegang, kami berhasil mengatasinya dengan baik. Aku belajar bahwa meskipun perbedaan pendapat bisa memicu konflik, yang terpenting adalah bagaimana kami menyelesaikannya. Persahabatan kami tetap kuat, dan aku tahu bahwa kami bisa menghadapi apa pun yang datang di masa depan.

 

Comments

Popular Posts