Ketua Geng Motor 2

 




Hari-hari berlalu dengan cepat, dan aku semakin berusaha menyeimbangkan semua perhatian baru ini. Namun, hubungan dengan Mira semakin retak. Sepertinya setiap kali aku mencoba memperbaikinya, sesuatu selalu salah.

Suatu hari, aku menerima pesan singkat dari Mira yang memintaku untuk bertemu di taman kota. Aku merasakan ketegangan dalam pesan itu dan tahu bahwa percakapan ini tidak akan mudah.

Setibanya di taman, aku melihat Mira duduk di bangku, wajahnya tampak tegang. Aku mendekatinya dengan hati-hati. "Hai, Mira. Apa yang ingin kamu bicarakan?"

Mira menatapku dengan mata yang penuh emosi. "Dito, aku tidak tahu harus mulai dari mana. Semakin hari, aku merasa kamu semakin jauh. Aku tidak bisa menerima kenyataan bahwa kamu adalah ketua geng motor. Ini bukan tentang apa yang kalian lakukan, tapi tentang fakta bahwa kamu menyembunyikan hal ini dariku."

Aku merasakan sakit di hatiku. "Mira, aku tidak pernah bermaksud menyakiti perasaanmu. Aku hanya ingin melindungi kamu dari kekhawatiran yang tidak perlu."

Mira menggelengkan kepalanya dengan marah. "Kamu tidak mengerti, Dito. Kepercayaan adalah segalanya bagiku. Dan kamu sudah menghancurkannya. Setiap kali aku melihatmu sekarang, aku merasa ada kebohongan yang lebih besar di baliknya."

Aku mencoba mendekatinya, tetapi Mira mundur. "Aku tidak bisa terus begini, Dito. Aku tidak bisa lagi menjadi sahabatmu dengan semua kebohongan ini. Aku membencimu karena kamu telah mengkhianati kepercayaanku."

Kata-kata Mira menusuk hatiku seperti pisau. Aku merasa hancur, tetapi aku tahu bahwa aku tidak bisa memaksanya untuk memahami atau memaafkanku. "Mira, aku benar-benar minta maaf. Aku berharap suatu hari nanti kamu bisa memaafkanku."

Mira berdiri dan menatapku untuk terakhir kalinya. "Selamat tinggal, Dito."

Aku hanya bisa melihatnya pergi, merasakan kehilangan yang mendalam. Setelah Mira pergi, aku merasakan kehampaan yang tak terhingga. Syila yang mendukungku, mencoba menghibur, tetapi aku tahu bahwa kehilangan Mira adalah luka yang dalam.

Ketika Syila mengetahui apa yang terjadi, dia tampak prihatin tetapi juga sedikit lega. "Dito, aku tahu ini sulit, tapi mungkin ini adalah kesempatan untuk memulai dari awal. Mira sudah menunjukkan bahwa dia tidak bisa menerima siapa kamu sebenarnya."

Aku hanya bisa mengangguk, mencoba menenangkan diri. "Mungkin kamu benar, Syila. Tapi aku merasa kehilangan besar."

Hari-hari berikutnya, Syila semakin menunjukkan perhatian dan dukungannya. Namun, aku juga mulai merasakan bahwa ada sisi lain dari dirinya yang muncul. Syila semakin sering berbicara tentang betapa Mira tidak pantas mendapatkan perhatianku, dan bahwa aku harus fokus pada hal-hal yang lebih penting.

Satu malam, saat kami sedang duduk di kafe, Syila membuka percakapan yang membuat suasana semakin panas. "Dito, kamu harus berhenti meratapi Mira. Dia sudah membuat keputusan untuk menjauh. Kamu tidak bisa terus-terusan merasa bersalah."

Aku menatap Syila dengan tajam. "Syila, Mira adalah sahabatku. Aku tidak bisa begitu saja melupakannya."

Syila menghela napas panjang. "Dito, kamu harus melihat kenyataan. Mira sudah membuatmu merasa bersalah dan tidak nyaman. Kamu pantas mendapatkan yang lebih baik."

Aku merasa bingung dan marah. "Syila, aku tahu kamu bermaksud baik, tapi aku butuh waktu untuk memproses semua ini."

Hubungan kami semakin tegang, dan aku merasa terjebak dalam situasi yang sulit. Dengan perasaan campur aduk dan kebingungan yang semakin meningkat, aku menyadari bahwa aku harus mencari cara untuk menenangkan pikiran dan hati. Aku berharap bisa menemukan jalan yang tepat untuk memperbaiki hubungan dengan Mira, atau setidaknya menemukan kedamaian dalam diriku sendiri.

Hari demi hari berlalu dengan ketidakpastian yang terus mengiringi langkahku. Aku berharap bahwa waktu dan ketenangan akan membantuku menemukan solusi yang terbaik untuk semua orang yang terlibat.

Comments

Popular Posts