Melindungin Dari Jauh


 


Hari-hari terus berlalu dengan ketidakpastian yang masih mengiringi langkahku. Aku merasa tersesat di antara perasaan bersalah, kehilangan, dan dukungan Syila yang terkadang terasa berlebihan. Namun, di tengah semua kekacauan ini, satu hal tetap pasti: aku tidak bisa membiarkan siapa pun menyakiti Mira, bahkan jika dia membenciku sekarang.

Suatu hari di sekolah, ketika aku sedang berjalan menuju kelas, aku mendengar keributan di lorong. Sekelompok siswa berkumpul dan ada suara keras yang terdengar dari tengah kerumunan. Rasa penasaran bercampur dengan kecemasan membuatku mempercepat langkah.

Saat aku tiba di sana, aku melihat Mira sedang dikelilingi oleh beberapa siswa yang tampak mengganggunya. Salah satu dari mereka, Reza, yang terkenal sebagai pembuat onar, sedang berbicara dengan nada mengancam.

"Hei, Mira. Aku dengar kamu sudah tidak dekat lagi dengan ketua geng motor itu. Jadi sekarang kamu bebas, kan?" katanya dengan senyum sinis.

Mira terlihat marah dan ketakutan. "Reza, tinggalkan aku. Aku tidak ada urusan denganmu."

Aku merasakan amarah membara dalam diriku. Tanpa berpikir panjang, aku mendorong kerumunan siswa dan berdiri di hadapan Reza.

"Reza, apa yang kamu lakukan? Biarkan Mira pergi," kataku dengan suara tegas.

Reza menatapku dengan tatapan menantang. "Oh, lihat siapa yang datang. Ketua geng motor yang kalem. Apa kamu pikir bisa melindungi dia selamanya?"

Aku mengepalkan tangan, mencoba menahan diri agar tidak melakukan sesuatu yang akan aku sesali. "Ini bukan tentang melindungi selamanya, Reza. Ini tentang menghormati orang lain. Jadi, lepaskan Mira sekarang."

Reza tertawa kecil, tetapi ketegangan di sekitarnya semakin terasa. "Kamu pikir kamu bisa menghentikanku, Dito?"

Saat itu, aku tahu bahwa kata-kata tidak akan cukup. Tanpa pikir panjang, aku menarik Reza menjauh dari Mira dan mendorongnya ke dinding. Kerumunan siswa yang melihat kejadian itu terkejut dan mulai berteriak-teriak.

"Aku sudah cukup dengan tingkahmu, Reza. Jika kamu tidak bisa menghormati Mira, maka kamu harus berurusan denganku," kataku dengan nada yang lebih rendah namun penuh ancaman.

Reza mendorongku balik, dan perkelahian pun pecah. Kami saling bertukar pukulan, dan kerumunan siswa berteriak semakin keras. Sahabat-sahabatku, yang mendengar keributan itu, segera datang dan mencoba melerai kami. Namun, emosi sudah terlalu memuncak.

Akhirnya, guru-guru datang dan melerai kami. Aku dan Reza dibawa ke ruang kepala sekolah. Sambil menunggu keputusan, aku merasa campur aduk. Aku tahu bahwa tindakanku bisa berakibat buruk bagi masa depanku, tetapi aku tidak menyesal karena telah membela Mira.

Di ruang kepala sekolah, aku melihat Mira duduk dengan wajah yang penuh kekhawatiran. Saat dia menatapku, aku bisa melihat ada campuran rasa terima kasih dan kesedihan di matanya.

Kepala sekolah, Pak Andi, menatap kami dengan wajah serius. "Dito, Reza, apa yang terjadi di sini?"

Aku menarik napas dalam-dalam sebelum menjawab. "Pak, saya tidak bisa membiarkan Reza mengganggu Mira. Saya tahu tindakan saya salah, tapi saya merasa harus melindunginya."

Pak Andi menghela napas. "Perkelahian tidak pernah menjadi solusi, Dito. Saya mengerti niatmu, tapi kita harus menemukan cara lain untuk mengatasi masalah ini. Saya akan memberikan sanksi kepada kalian berdua, tetapi saya juga ingin kita bekerja sama untuk menciptakan lingkungan yang lebih aman di sekolah ini."

Setelah itu, aku dan Reza diberi tugas untuk mengikuti sesi konseling dan membantu kegiatan sekolah sebagai bentuk hukuman dan pemulihan. Meskipun situasi ini sulit, aku merasa lega telah melindungi Mira.

Setelah kejadian itu, aku bertemu Mira di luar ruang kepala sekolah. Dia menatapku dengan mata yang penuh perasaan campur aduk.

"Dito, terima kasih. Aku tahu kita punya masalah, tapi aku menghargai apa yang kamu lakukan untukku," katanya dengan suara lembut.

Aku mengangguk, merasa sedikit lega. "Mira, aku akan selalu ada untuk melindungimu, bahkan jika kamu membenciku. Aku hanya ingin yang terbaik untukmu."

Mira tersenyum tipis. "Aku tidak membencimu, Dito. Aku hanya butuh waktu untuk memahami semuanya. Terima kasih karena sudah ada di sana untukku."

Kami berdua berpisah dengan perasaan yang lebih tenang. Meskipun hubungan kami masih belum sepenuhnya pulih, aku merasa bahwa ada harapan untuk memperbaikinya. Dengan dukungan sahabat-sahabatku dan keteguhan hati, aku bertekad untuk menjalani hari-hari berikutnya dengan lebih baik dan lebih bijaksana.

Comments

Popular Posts