Perburuan Garuda Hitam

 




Kemenangan atas Bayangan Hitam memberikan ketenangan sementara bagi kota, tetapi bagi Garuda Hitam, perang belum benar-benar berakhir. Dalam beberapa hari terakhir, mereka mulai merasakan tekanan yang lebih besar—seperti ada kekuatan yang bergerak dalam kegelapan, mengincar mereka satu per satu.

Dito dan Rian kembali berkumpul dengan anggota inti aliansi di markas mereka. Namun, kali ini, suasana jauh lebih tegang dibanding sebelumnya.

Indah meletakkan sebuah amplop coklat di atas meja. "Kita punya masalah besar. Seseorang menginginkan kita mati."

Dito membuka amplop itu. Di dalamnya ada serangkaian foto-foto anggota Garuda Hitam, masing-masing dengan tanda silang merah. Ada juga sebuah catatan pendek yang hanya berisi satu kalimat:

"Giliran kalian."

Rian mengepalkan tinjunya. "Siapa yang mengirim ini?"

Surya, yang baru kembali dari penyelidikan, menatap mereka dengan wajah serius. "Aku punya dugaan. Sebelum kita menyerang Bayangan Hitam, ada satu sosok yang tidak muncul dalam laporan kita. Seseorang yang lebih berbahaya dari Victor Rahardian. Dia dikenal sebagai 'Sang Menteri'."

Dito mengangguk. "Rafael sempat menyebut nama itu sebelum kita menangkapnya di pelabuhan. Jadi dia bukan hanya ancaman kosong."

Bima menambahkan, "Ada rumor bahwa Sang Menteri bukan sekadar pemimpin kriminal biasa. Dia punya koneksi dengan orang-orang di pemerintahan, polisi, bahkan militer bayangan. Jika dia mengincar kita, maka kita menghadapi musuh yang lebih besar dari sebelumnya."

Suasana semakin berat. Semua orang tahu bahwa pertempuran ini berbeda. Jika Bayangan Hitam hanyalah geng kriminal, maka Sang Menteri adalah dalang besar di balik layar—dan kini mereka telah menjadi targetnya.

Serangan Pertama

Malam itu, tanpa peringatan, markas Garuda Hitam dihujani serangan.

Ledakan mengguncang dinding luar markas, memecahkan kaca dan mengguncang lantai. Tembakan terdengar dari luar, membuat semua orang langsung mengambil posisi bertahan.

"Dito! Kita diserang!" teriak Vina sambil berlindung di balik meja.

Dito segera meraih pistolnya dan melihat ke luar. Beberapa pria bersenjata lengkap dengan perlengkapan militer menyerbu ke dalam dengan formasi terlatih. Ini bukan sekadar geng jalanan—ini adalah pasukan profesional.

Rian berlari ke samping Dito, mengisi pelurunya. "Mereka datang lebih cepat dari yang kita kira."

"Semua orang bertahan! Jangan biarkan mereka masuk ke dalam!" teriak Dito.

Pertempuran sengit pecah. Garuda Hitam, yang biasanya bertarung di jalanan, kini harus menghadapi musuh yang lebih terorganisir dan memiliki persenjataan lebih baik. Tetapi mereka tidak menyerah. Dengan taktik gerilya, mereka memanfaatkan setiap sudut markas untuk bertahan dan melawan balik.

Di tengah baku tembak, Surya mendengar suara radio dari salah satu lawan yang tumbang. Dia segera mengambil perangkat itu dan mendengarkan komunikasi mereka.

"Alpha-3, laporkan. Target utama masih hidup?"

"Negatif. Mereka lebih kuat dari yang kita kira."

"Teruskan serangan. Sang Menteri ingin mereka semua mati sebelum matahari terbit."

Mendengar itu, Surya langsung berlari ke arah Dito. "Kita tidak bisa bertahan di sini! Mereka tidak akan berhenti sampai kita semua mati!"

Dito mengangguk. "Semua orang! Kita mundur ke titik aman. Kita regroup dan atur strategi baru."

Dengan susah payah, mereka meloloskan diri melalui terowongan rahasia yang telah mereka siapkan untuk keadaan darurat. Saat mereka keluar dari gang belakang, mereka melihat markas mereka mulai terbakar, dikuasai oleh pasukan musuh.

Rian mengepalkan tinjunya. "Mereka pikir kita akan menyerah begitu saja? Mereka salah."

Dito menatap semua orang. "Ini bukan lagi pertempuran jalanan. Ini perang. Dan kita akan memastikan Sang Menteri menyesali keputusannya untuk memburu kita."

Malam itu, Garuda Hitam bukan hanya bertahan—mereka bersiap untuk membalas.

Comments

Popular Posts